Office Jl. Sy. Sulaiman "Blok-Brak" Pesantren Nurul Hasan Banjarsari, Telp. 0335 435173 Kode Pos: 67251 E-mail. nurulhasan@yahoo.co.id Offical Website. www.nurulhasan.co.tv

Minggu, 07 Agustus 2011

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW


Google Proof Muhammad SAW Is True Prophet./ Bukti Kebenaran Nabi SAW. SUBHANALLAH!Sumber : http://www.youtube.com/watch?v=OcwUuJM8fFE

KYAI AHMAD TUHFAH NAHRAWI (Non Tuhfah)


Sosok kyai muda mahir astronomi

Sorang ulama’ yang masih belia pada era 50-an terkenal akan kemahirannya dibidang Astronomi,beliau juga merupakan salah satu santri kesayangan dari KH. Hasyim Asy’ari tebu iereng Jombang . Dilingkungan keluarga besarnya di pesantren Zainul Hasan Genggong, beliu dikenal dengan panggilan “NON THUHFAH”. Nama lengkap nya adalah Ahmad Thuhfah Nahrawi , beliu dilahirkan padatahun 1351 H/1931 M, Putra keenam dari sebelas bersaudara pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan nyai marfu’ah. Non Tuhfah merupakan cucu kesayangan Hadrotullmarhum Arif Billah KH. Mohammad Hasan Genggong,hal tersebut dapat terlihat dari perhatian dan kasih sayang kakek kepadanya

Ke’aliman Non Tuhfah sudah terlihat sejak beliau berusia belasan tahun. Diusia yang masih belia , beliau telah menulis sejumlah kitab,diantara kita-kitab yang terkenal adalah:Kitab Tuhfatul Atfal tentang ilmu tajwid Al Qur’an yang beliau tulis sa’at usia 18 Tahun , menginjak delapan puluh tahun beliau kembali menulis kitab Mirqotululum Tuhfatulstaniyah Ringakasan dari kitab alfiah Ibnu malik dan Thuhfatul Karim yang membahas qiro’atus sabah . kitab –kitab tersebut beliu susun antara tahun seribu 1948 M Hingga Tahun 1951 M. Sanagt amenarik sosok Dari Non Tuhfah, Diusia Muda beliau Telah mengarang beberapa kitab padahal semasa hidupnya Non thuhfah Hanya sekali saja nyantri pada kiai Hasyim Asy’ari di tebu ireng Jombang , hanya dengan kurun waktu satu minggu .Hal Ikhwal Dari proses non tuhfah menjadi kiai pun terbilang unik ,karena sang kiaialah yang meminta beliau untuk menjadi santrinya hal ini berbeda dari kebanyakan pemuda pada masa itu yang meminta sang kiai untuk menjadi gurunya .

Selain kealiman beliu dibidang ilmu agama , Non Thuhfa juga terkenal mahir ilmu perbintangan dan anta riksa . menrut sebuah pendapat, saat berkumpul dengan beberapa santri di pesantren Zainul Hasan Genggong, beberapa santri dibuat tercengang oleh kemahiran ilmu astronomi Non Tuhfah . beliua menunjukan kemahirannya dengan menyebutkan jumlah lidi yang terdapat pada dua sisi pelepah daun kelapa yang baru jatuh dari pohonnya tampa menghitungnya terlebih dahulu. Dengan hitungan ilmu perbitangan , sedikitpun hitungan beliau tidak meleset dari aslinya .

Disisi lain , sosok Kyai Ahmad Tuhfah Nahrawi sangat dekat dekat dengan kezuhudannya (lebih mengitamakan urusan akhirat dari pada dunia ).keistiqomahan beliau dalam beribadah semasa hiupnya tak dapat ditandingi para pemuda lainya . beliau terkenal atas keistiqomahannya membaca surah yasin sebanyak 40 kali setelah usai melaksanakan sholat maghrib hingga waktu sholat isya’ tiba. Selain ketawaddhu’an dan keikhlasannya , Non Tuhfa juga sangat tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya . Bahkan saat mendapatkan kesuliatan ketika mengarang kitab, beliau langsung merangkak di bawah selangkangan kedua kaki ibunya untuk meminta restu agar diberikan kemudahan daalam mengarang kitab

Sang Penggagas Kemandirian

Kyai Ahmad Thuhfah Nahrawi belum pernah menikah semasa hidupnya , selain itu beliau terkenal disiplin dalam mengajar. Kedisiplinannya dalam belajar dan mengajar menjadi contoh para guru pada masa itu . dikalangan para santrinya beliau sangat terkenal sangat disiplin , gaya mengajar beliu khas adalah dengan selalu memberikan ujian secara lisan kepada para santri yang diajarinya. Ujian yang beliau berikan kepada para santri tidak tentu hari dan tanggalnya materinyapun selalu berubah-ubah hingga menharuskan para santri untuk selalu mengingat pelajarannya , baik pelajaran yang baru diberikannya maupun pelajaran yang telah lama di ajarkan. Gagasan yang pernah dibuat beliau dibidang pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah dengan mengupayakan penggunaan kitab kitab asli karangan beliau sendiri dan beberap kitab dari pengasuh Pondok Genggong lainnya. Beliau mengupayakan kemandirian pada sektor pendidikan dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di pesantren . gagasan beliaupun berjalan dengan baik , hingga beliau akhirnya wafat pada tanggal 14 Robi’us Tsani 1371 H./31 Desenber 1951 M.

Saat beliau wafat inilah begitu nanpak betapa besar kasih saying sang kakek Almarhum Alarifbillah KH. Mohammad Hasan Kepadanya .Diantara Putra dan cucu Almarhum KH. Mohammad Hasan, hanya saat beliau wafata saja kakek beliau menangis melepas kepergiannya menuju Khaliq .beberapa waktu sebelum beliau wafat , Non Thuhfah sempat bercerita kepada kakeknya (Almarhum KH. Mohammad Hasan). Beliau menceritakan tentang mimpinya , bahwa matahari,bulan dan seluruh bintang dilangit turun kebumi dan bersujut kepadanya . seketika kakek beliau menagis sembari memeluk beliau. Beberapa hari setelah menceritakan mimpinya kepada kakeknya beliau kemudian jatuh sakit dan wafat pada usia 20 tahun.

SUMBER : Majalah Genggong Edisi II | VII 2011

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW

Dalam hadith riwayat Attabarani, Rasulullah SAW perintah seorang sahabat supaya membangun sebuah masjid di taman bernama Bathan di daerah San’a yg terletak di negeri Yemen. Baginda rosulullah



mengarahkan supaya qiblat masjid itu menghadap ke puncak gunung Deyn yg terletak sekitar 30km dari San’aa.


14 abad kemudian, Google Earth((aplikasi map untuk melihat bumi dari foto satelit) membuktikan kebenaran Rasulullah SAW. Melalui rakaman satelit, dapat di lihat dengan jelas bagaimana qiblat masjid ini yang di perintahkan oleh Nabi SAW menghadap ke puncak gunung Deynn, apabila di lanjutkan dan di tarik sebuah garis lurus, ia akan langsung mengarah ke tengah Ka"ba di Baitullah Al Haram.

Tiada manusia yg dapat mengetahui perhitungan yang akurat ini ini tanpa bantuan alat2 canggih. Benar lah nabi Muhammad SAW. SUBHAANALLAH!

untuk lebih yakin,pengguna google earth bisa cek langsung koordinat masjid yang di maksud,ini koordinatnya 15°21'11.28"N 44°12'53.72"E

yang mau nonton videonya,,,silahkan ikuti link ini


apalagi yang kita ragukan dari islam jika tekhnologi pun meng "iyakan? sumber:http://www.facebook.com/notes/lazuard-haus-ilmu/
subhanallahlagi-lagi-google-earth-membuktikan-
kebenaran-nabi-muhammad-saw/10150249337426973

Asal Usul Nama Azmatkhan


Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.

Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.

Adapun nasab Sayyid Abdul Malik adalah sebagai berikut:

Abdul Malik bin

Alawi (Ammil Faqih) bin

Muhammd Shahib Mirbath bin

Ali Khali’ Qasam bin

Alawi bin

Muhammad bin

Alawi (Asal usul marga Ba’alawi atau Al-Alawi) bin

Abdullah / Ubaidillah bin

Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin

Isa bin

Muhammad bin

Ali Al-’Uraidhi bin

Ja’far Ash-Shadiq bin

Muhammad Al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW.

Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda’wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda’wah.

Berkatalah H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”:

“Sayyid Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India ia bermukim di Nashr Abad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, diantaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Nashr Abad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul Malik.”

Nama putra Sayyid Abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda.

Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.

Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.

Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:

“Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.”

Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar.

Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:

“Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia diangkat sebagai wazir (menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Tailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.

Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”

Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tembahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian gelar Syahan-syah pada selain Allah.

Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Tailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

Sayyid Husain memiliki tujuh orang putra sebagi berikut:

1. Sayyid Ibarahim, diketahui memiliki tiga orang putra:

1.1. Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri). Keturunannya mulai terdata.

1.2. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri). Keturunannya mulai terdata.

1.3. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Keturunannya mulai terdata.

2. Sayyid Barakat, diketahui memiliki empat orang putra:

2.1. Sayyid Abdurrahman Ar-Rumi. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.2. Sayyid Ahmad Syah. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.3. Maulana Malik Ibrahim. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.4. Sayyid Abdul Ghafur. Diketahui memiliki satu putera:

2.4.1. Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera:

2.4.1.1. Sayyid Fathullah (Falatehan). Keturunannya mulai terdata.

2.4.1.2. Nyai Mas Gandasari (Istri Sunan Gunung Jati).

3. Sayyid Ali Nurul Alam, memiliki dua orang putra:

3.1. Sayyid Abdullah ; berputra Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Keturunannya mulai terdata .

3.2. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Menikah dengan cucu Sunan Ampel dan berputra Ja’far Ash-Shadiq (Sunan Kudus). Keturunannya mulai terdata.

3.3. Sayyid Haji Utsman (Sunan Manyuran). Keturunannya mulai terdata.

4. Sayyid Fadhal (Sunan Lembayung). Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

5. Sayyid Abdul Malik. Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

6. Pangeran Pebahar. Kami belum mendapatkan nama Arab dan riwayat beliau. Beliau adalah kakek dari Tuan Faqih Jalaluddin, Ulama Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin. Diketahui memiliki keturunan.

7. Yang ketujuh belum kami dapatkan nama dan riwayatnya dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

Adapun Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi memiliki tiga orang putra dan seorang putri yang semuanya berdakwah dan meninggal di Cirebon Jawa Barat:

1. Syekh Datuk Kahfi. Diketahui memiliki keturunan.

2. Sayyid Abdurrahman (Pangeran Panjunan). Keturunannya mulai terdata.

3. Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan). Diketahui memiliki keturunan.

4. Syarifah Ratu Baghdad, menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Sumber http://azmatkhanalhusaini.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Itemid=56

MENGULAS KEMBALI BUNGA GENGGONG YANG MELAGENDA


Sekuntum bunga Genggong Adalah Bunga yang Ketika Itu banyak tumbuh dalam pekarangan tersebut (Cikal bakal Lokasi Pesantren Zainul Hasan Genggong), menurut legenda bunga itu dipergunakan oleh banyak orang sekitarnya (Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan,Probolinggo) untuk merias pengantin, khitan (Sunatan) dan keperluan pengantin lainnya.

Kemudian mengingat besar arti dan fungsi bunga itu bagi masyarakat sekitarnya, maka diabadaikannya nama bunga itu menjadi nama pondok tersebut, yaitu Pondok Genggong, Yang Kita Kenal Sekarang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong

Kaitannya Nama Bunga Genggong Dengan Pesantren Zainul Hasan, Penjelasannya Sebagai Berikut :
sejak pertumbuhannya telah mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan Pesantren serta pengaruh sekitarnya dan gagasan adanya keinginan untuk mengabadikan para pendiri Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall dengan ketetapan sebagai berikut :

1. Nama Pondok Genggong diabadikan sejak kepemimpinan KH. Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh. Hasan dari tahun 1839 M sampai tahun 1952.

2. Pada tahu 1952 pada masa kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall diganti dengan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) dengan latar belakang berdirinya asrama yang ditempati para santri dan bertambahnya jumlah santri pada masa itu. Nama ini dipakai dari tahun 1952 Masehi – 1959 Masehi.

3. Pada tahun 1959 timbul gagasan untuk merubah nama Pondok dengan motif timbulnya dorongan rasa ingin mengabdi kepada kedua tokoh sebelumnya yang telah berhasil mengorbitkan nama pondok Genggong dikalangan masyarakat luas. Maka sejak tanggal 1 Muharrom 1379 H. / 19 Juli 1959 M. dalam pertemuan dewan pengurus, Al-Mukarrom KH. Hasan Saifouridzall telah menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) menjadi Pesantren Zainul Hasan tersebut, adalah hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya dimana kata “ZAINUL” diambil dari nama Almarhum KH. Zainul Abidin dan kata “HASAN” diambil dari nama Al-Marhum KH. Moh. Hasan, sebagai pembina kedua.

Penjelasan Diatas Dapat Kita simpulkan BahwaSanya Bunga Yang Melagenda Pada Masa Itu ,Populer Semenjak Adanya Kiai Zainal Abidin,Kiai Mohamad Hasan Sebagai Cahaya Penerang Masyarakat Pada Masa Itu, dan Pada Ahirnya Menjadikan Nama Pesantren Yang Kita Kenal PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG Dengan puluhan ribu Santri Dan Alumnus Yang Tersebar Diseluruh Nusantara,Malaysia Dan Singapura,

BIOGRAFI SINGKAT KH. MOHAMMAD HASAN



Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus 1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni 1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)

KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak  4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.
Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama
kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.
Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut  70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad lampau.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri beliau tak seorang pun yang memberikan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa kepada Allah memohon kemudahan dalam menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)
Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.
Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.
Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.
KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq…

Manfaat Puasa Bagi Kesehatan


Berpuasa didefinisikan sebagai periode tubuh yang pantang mengasup semua jenis makanan atau makanan tertentu. Bertolak belakang dengan persepsi bahwa berpuasa memburuk kesehatan tubuh, puasa justru memiliki banyak manfaat bagi tubuh.

Menurut AJ Carlson, Profesor Fisiologi di Universitas Chicago seperti dikutip dari MedIndia menyatakan, orang sehat dan tidak memiliki masalah stres serta gangguan emosi dapat bertahan tanpa makanan selama 50-75 hari.

Setiap pon lemak manusia setara dengan 3.500 kalori yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik berat seharian. Berikut beberapa efek positif berpuasa.

Menyembuhkan dengan cepat
Hari-hari awal berpuasa merupakan fase tersulit. Tubuh akan mengeluarkan sejumlah besar racun melalui aliran darah, pori dan organ pembuangan lain. Ini terlihat dari menebalnya lapisan lidah dan nafas yang biasanya lebih berbau pada hari-hari pertama.

Setelah puasa berlanjut pada hari-hari setelahnya, proses pembersihan tubuh disempurnakan. Lemak tubuh yang tidak bermanfaat, racun yang terakumulasi dalam sel tubuh akan dikeluarkan. Sel yang sakit, sel-sel mati, lapisan lendir menebal di dinding usus, limbah aliran darah dikeluarkan lewat hati, limpa, dan ginjal.

Tubuh akan menggunakan mineral penting dan vitamin untuk membuang racun dan jaringan tua. Saat beban racun tubuh berkurang, efisiensi setiap sel ditingkatkan. Sehingga mempercepat proses penyembuhan dan sekaligus menghemat energi.

Lebih Energik
Mengapa orang merasa lebih energik setelah berpuasa? Selain itu, rasa lapar orang yang berpuasa berkurang dibandingkan saat normal.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa tubuh memerlukan energi besar untuk mencerna makanan. Puasa mengistirahatkan sistem pencernaan. Sehingga energi disimpan untuk menyembuhkan diri dan memperbaiki sel tubuh.

Energi akan digunakan untuk membersihan dan detoksifikasi usus, darah, serta menyembuhkan sel-sel tubuh dari berbagai penyakit. Puasa meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kesehatan fisik dan mental serta meremajakan tubuh.

Manfaat khusus
- Mengatasi kecanduan kafein, rokok, nikotin, narkoba dan alkohol.
- Puasa membantu menurunkan kadar kolesterol.
- Puasa mengurangi gangguan sistem pencernaan seperti sembelit, kembung, dan gastritis.
- Puasa dengan kontrol pada penderita diabetes membuat perubahan gaya hidup dan pola makan sehingga akan memperbaiki kondisi mereka.
- Puasa meningkatkan kewaspadaan mental. Racun yang dibersihkan dari sistem limfatik meningkatkan konsentrasi dan energi untuk melakukan aktivitas.

FADHILAT DAN KELEBIHAN SHOLAT TARAWIH




Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah saw sebagai jawaban dari pertanyaan sahabat-sahabat Nabi saw tentang kelebihan sembahyang sunat tarawih pada bulan Ramadhan.

Malam ke-1:
Diampuni dosa-dosa orang yang beriman sebagaimana baru dilahirkan.

Malam ke-2:
Diampunkan dosa orang-orang yang beriman yang mengerjakan sholat Tarawih, serta dosa-dosa kedua orang tuanya.

Malam ke-3:
Para malaikat di bawah 'Arasy menyeru kepada manusia yang mengerjakan sholat tarawih itu agar meneruskan sholatnya pada malam-malam yang lain, semoga Allah mengampunkan dosa-dosa mereka.

Malam ke-4:
Memperoleh pahala sebagaimana pahala orang-orang yang membaca kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an.

Malam ke-5:
Allah SWT akan mengkaruniakan pahala seumpama pahala orang-orang yang mengerjakan sembahyang di Masjidil Haram, Masjidil Madinah dan Masjidil Aqsa.

Malam ke-6:
Allah SWT akan mengkaruniakan kepadanya pahala seumpama pahala para malaikat yang bertawaf di Baitul Makmur serta setiap batu dan tanah berdoa untuk keampunan orang yang mengerjakan sholat tarawih pada malam ini.

Malam ke-7:
Seolah-olah ia dapat bertemu dengan Nabi Musa a.s. serta menolong Nabi itu untuk menentang musuhnya Fir'aun dan Hamman.

Malam ke-8:
Allah SWT mengkaruniakan pahala sebagaimana pahala yang dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim a.s.

Malam ke-9:
Allah SWT akan mengkaruniakan pahala dan dinaikan mutu ibadah hamba-Nya seperti Nabi Muhammad saw.

Malam ke-10:
Allah SWT mengkaruniakan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Malam ke-11:
Ia meninggal dunia dalam keadaan bersih dari dosa seperti baru dilahirkan.

Malam ke-12:
Ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan muka yang bercahaya.

Malam ke-13:
Ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aman sentosa dari tiap-tiap kejahatan dan keburukan.

Malam ke-14:
Para malaikat akan datang menyaksikan mereka bersholat Tarawih serta Allah SWT tidak akan menyesatkan mereka.

Malam ke-15:
Semua malaikat yang memikul 'Arasy, Kursi akan bershalawat dan mendoakan supaya Allah SWT mengampuni kita.

Malam ke-16:
Allah SWT menuliskan baginya terlepas dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga.

Malam ke-17:
Allah SWT menuliskan baginya pahala pada malam ini sebanyak pahala Nabi-Nabi.

Malam ke-18:
Malaikat akan menyeru "Wahai hamba Allah sesungguhnya Allah telah ridha kepada engkau dan ibu bapak engkau (baik yang masih hidup atau yang sudah wafat)".

Malam ke-19:
Allah akan meninggikan derajatnya di dalam syurga Firdaus.

Malam ke-20:
Allah SWT mengkaruniakan kepadanya pahala semua orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh.

Malam ke-21:
Allah SWT akan membina untuknya sebuah mahligai di dalam syurga yang dibuat dari Nur.

Malam ke-22:
Ia akan datang pada hari kiamat di dalam keadaan aman daripada duka cita dan kerisauan (di Padang Mahsyar).

Malam ke-23:
Allah SWT akan membina untuknya sebuah bandar di dalam syurga yang terbuat dari Nur.

Malam ke-24:
Allah bukakan perluang 24 doa yang mustajab bagi orang yang bertarawih pada walam ini (lebih elok dikerjakan ketika sujud).

Malam ke-25:
Allah akan mengangkat siksa kubur darinya.

Malam ke-26:
Allah akan mengkaruniakan pahala 40 tahun ibadah.

Malam ke-27:
Allah akan mengkaruniakan kepadanya kemudahan untuk melintasi titian Shiratalmustaqim seperti kilat yang menyambar.

Malam ke-28:
Allah akan menaikkan kedudukannya 1000 derajat di akhirat.

Malam ke-29:
Allah akan mengkaruniakan pahala 1000 kali haji yang mabrur.

Malam ke-30:
Allah akan memberi penghormatan kepada orang yang bertarawih pada malam terakhir dengan firman-Nya: "Wahai hamba-Ku, makanlah segala jenis buah-buahan yang engkau ingini untuk dimakan di dalam syurga dan mandilah kamu di dalam sungai yang bernama Salsabila, serta minumlah air dari telaga yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad saw yang bernama Al-Kautsar."


MyBaner

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes