Office Jl. Sy. Sulaiman "Blok-Brak" Pesantren Nurul Hasan Banjarsari, Telp. 0335 435173 Kode Pos: 67251 E-mail. nurulhasan@yahoo.co.id Offical Website. www.nurulhasan.co.tv

Minggu, 07 Agustus 2011

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW


Google Proof Muhammad SAW Is True Prophet./ Bukti Kebenaran Nabi SAW. SUBHANALLAH!Sumber : http://www.youtube.com/watch?v=OcwUuJM8fFE

KYAI AHMAD TUHFAH NAHRAWI (Non Tuhfah)


Sosok kyai muda mahir astronomi

Sorang ulama’ yang masih belia pada era 50-an terkenal akan kemahirannya dibidang Astronomi,beliau juga merupakan salah satu santri kesayangan dari KH. Hasyim Asy’ari tebu iereng Jombang . Dilingkungan keluarga besarnya di pesantren Zainul Hasan Genggong, beliu dikenal dengan panggilan “NON THUHFAH”. Nama lengkap nya adalah Ahmad Thuhfah Nahrawi , beliu dilahirkan padatahun 1351 H/1931 M, Putra keenam dari sebelas bersaudara pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan nyai marfu’ah. Non Tuhfah merupakan cucu kesayangan Hadrotullmarhum Arif Billah KH. Mohammad Hasan Genggong,hal tersebut dapat terlihat dari perhatian dan kasih sayang kakek kepadanya

Ke’aliman Non Tuhfah sudah terlihat sejak beliau berusia belasan tahun. Diusia yang masih belia , beliau telah menulis sejumlah kitab,diantara kita-kitab yang terkenal adalah:Kitab Tuhfatul Atfal tentang ilmu tajwid Al Qur’an yang beliau tulis sa’at usia 18 Tahun , menginjak delapan puluh tahun beliau kembali menulis kitab Mirqotululum Tuhfatulstaniyah Ringakasan dari kitab alfiah Ibnu malik dan Thuhfatul Karim yang membahas qiro’atus sabah . kitab –kitab tersebut beliu susun antara tahun seribu 1948 M Hingga Tahun 1951 M. Sanagt amenarik sosok Dari Non Tuhfah, Diusia Muda beliau Telah mengarang beberapa kitab padahal semasa hidupnya Non thuhfah Hanya sekali saja nyantri pada kiai Hasyim Asy’ari di tebu ireng Jombang , hanya dengan kurun waktu satu minggu .Hal Ikhwal Dari proses non tuhfah menjadi kiai pun terbilang unik ,karena sang kiaialah yang meminta beliau untuk menjadi santrinya hal ini berbeda dari kebanyakan pemuda pada masa itu yang meminta sang kiai untuk menjadi gurunya .

Selain kealiman beliu dibidang ilmu agama , Non Thuhfa juga terkenal mahir ilmu perbintangan dan anta riksa . menrut sebuah pendapat, saat berkumpul dengan beberapa santri di pesantren Zainul Hasan Genggong, beberapa santri dibuat tercengang oleh kemahiran ilmu astronomi Non Tuhfah . beliua menunjukan kemahirannya dengan menyebutkan jumlah lidi yang terdapat pada dua sisi pelepah daun kelapa yang baru jatuh dari pohonnya tampa menghitungnya terlebih dahulu. Dengan hitungan ilmu perbitangan , sedikitpun hitungan beliau tidak meleset dari aslinya .

Disisi lain , sosok Kyai Ahmad Tuhfah Nahrawi sangat dekat dekat dengan kezuhudannya (lebih mengitamakan urusan akhirat dari pada dunia ).keistiqomahan beliau dalam beribadah semasa hiupnya tak dapat ditandingi para pemuda lainya . beliau terkenal atas keistiqomahannya membaca surah yasin sebanyak 40 kali setelah usai melaksanakan sholat maghrib hingga waktu sholat isya’ tiba. Selain ketawaddhu’an dan keikhlasannya , Non Tuhfa juga sangat tunduk dan patuh kepada kedua orang tuanya . Bahkan saat mendapatkan kesuliatan ketika mengarang kitab, beliau langsung merangkak di bawah selangkangan kedua kaki ibunya untuk meminta restu agar diberikan kemudahan daalam mengarang kitab

Sang Penggagas Kemandirian

Kyai Ahmad Thuhfah Nahrawi belum pernah menikah semasa hidupnya , selain itu beliau terkenal disiplin dalam mengajar. Kedisiplinannya dalam belajar dan mengajar menjadi contoh para guru pada masa itu . dikalangan para santrinya beliau sangat terkenal sangat disiplin , gaya mengajar beliu khas adalah dengan selalu memberikan ujian secara lisan kepada para santri yang diajarinya. Ujian yang beliau berikan kepada para santri tidak tentu hari dan tanggalnya materinyapun selalu berubah-ubah hingga menharuskan para santri untuk selalu mengingat pelajarannya , baik pelajaran yang baru diberikannya maupun pelajaran yang telah lama di ajarkan. Gagasan yang pernah dibuat beliau dibidang pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah dengan mengupayakan penggunaan kitab kitab asli karangan beliau sendiri dan beberap kitab dari pengasuh Pondok Genggong lainnya. Beliau mengupayakan kemandirian pada sektor pendidikan dengan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di pesantren . gagasan beliaupun berjalan dengan baik , hingga beliau akhirnya wafat pada tanggal 14 Robi’us Tsani 1371 H./31 Desenber 1951 M.

Saat beliau wafat inilah begitu nanpak betapa besar kasih saying sang kakek Almarhum Alarifbillah KH. Mohammad Hasan Kepadanya .Diantara Putra dan cucu Almarhum KH. Mohammad Hasan, hanya saat beliau wafata saja kakek beliau menangis melepas kepergiannya menuju Khaliq .beberapa waktu sebelum beliau wafat , Non Thuhfah sempat bercerita kepada kakeknya (Almarhum KH. Mohammad Hasan). Beliau menceritakan tentang mimpinya , bahwa matahari,bulan dan seluruh bintang dilangit turun kebumi dan bersujut kepadanya . seketika kakek beliau menagis sembari memeluk beliau. Beberapa hari setelah menceritakan mimpinya kepada kakeknya beliau kemudian jatuh sakit dan wafat pada usia 20 tahun.

SUMBER : Majalah Genggong Edisi II | VII 2011

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW

google earth membuktikan kebenaran nabi Muhammad SAW

Dalam hadith riwayat Attabarani, Rasulullah SAW perintah seorang sahabat supaya membangun sebuah masjid di taman bernama Bathan di daerah San’a yg terletak di negeri Yemen. Baginda rosulullah



mengarahkan supaya qiblat masjid itu menghadap ke puncak gunung Deyn yg terletak sekitar 30km dari San’aa.


14 abad kemudian, Google Earth((aplikasi map untuk melihat bumi dari foto satelit) membuktikan kebenaran Rasulullah SAW. Melalui rakaman satelit, dapat di lihat dengan jelas bagaimana qiblat masjid ini yang di perintahkan oleh Nabi SAW menghadap ke puncak gunung Deynn, apabila di lanjutkan dan di tarik sebuah garis lurus, ia akan langsung mengarah ke tengah Ka"ba di Baitullah Al Haram.

Tiada manusia yg dapat mengetahui perhitungan yang akurat ini ini tanpa bantuan alat2 canggih. Benar lah nabi Muhammad SAW. SUBHAANALLAH!

untuk lebih yakin,pengguna google earth bisa cek langsung koordinat masjid yang di maksud,ini koordinatnya 15°21'11.28"N 44°12'53.72"E

yang mau nonton videonya,,,silahkan ikuti link ini


apalagi yang kita ragukan dari islam jika tekhnologi pun meng "iyakan? sumber:http://www.facebook.com/notes/lazuard-haus-ilmu/
subhanallahlagi-lagi-google-earth-membuktikan-
kebenaran-nabi-muhammad-saw/10150249337426973

Asal Usul Nama Azmatkhan


Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.

Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang.

Adapun nasab Sayyid Abdul Malik adalah sebagai berikut:

Abdul Malik bin

Alawi (Ammil Faqih) bin

Muhammd Shahib Mirbath bin

Ali Khali’ Qasam bin

Alawi bin

Muhammad bin

Alawi (Asal usul marga Ba’alawi atau Al-Alawi) bin

Abdullah / Ubaidillah bin

Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin

Isa bin

Muhammad bin

Ali Al-’Uraidhi bin

Ja’far Ash-Shadiq bin

Muhammad Al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW.

Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda’wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda’wah.

Berkatalah H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”:

“Sayyid Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India ia bermukim di Nashr Abad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, diantaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Nashr Abad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul Malik.”

Nama putra Sayyid Abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda.

Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.

Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.

Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:

“Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.”

Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar.

Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini melanjutkan:

“Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia diangkat sebagai wazir (menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Tailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.

Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”

Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tembahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian gelar Syahan-syah pada selain Allah.

Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Tailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

Sayyid Husain memiliki tujuh orang putra sebagi berikut:

1. Sayyid Ibarahim, diketahui memiliki tiga orang putra:

1.1. Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri). Keturunannya mulai terdata.

1.2. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri). Keturunannya mulai terdata.

1.3. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Keturunannya mulai terdata.

2. Sayyid Barakat, diketahui memiliki empat orang putra:

2.1. Sayyid Abdurrahman Ar-Rumi. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.2. Sayyid Ahmad Syah. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.3. Maulana Malik Ibrahim. Belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

2.4. Sayyid Abdul Ghafur. Diketahui memiliki satu putera:

2.4.1. Sayyid Ibrahim. Diketahui memiliki dua putera:

2.4.1.1. Sayyid Fathullah (Falatehan). Keturunannya mulai terdata.

2.4.1.2. Nyai Mas Gandasari (Istri Sunan Gunung Jati).

3. Sayyid Ali Nurul Alam, memiliki dua orang putra:

3.1. Sayyid Abdullah ; berputra Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Keturunannya mulai terdata .

3.2. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Menikah dengan cucu Sunan Ampel dan berputra Ja’far Ash-Shadiq (Sunan Kudus). Keturunannya mulai terdata.

3.3. Sayyid Haji Utsman (Sunan Manyuran). Keturunannya mulai terdata.

4. Sayyid Fadhal (Sunan Lembayung). Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

5. Sayyid Abdul Malik. Kami belum mendapatkan riwayat beliau dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

6. Pangeran Pebahar. Kami belum mendapatkan nama Arab dan riwayat beliau. Beliau adalah kakek dari Tuan Faqih Jalaluddin, Ulama Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin. Diketahui memiliki keturunan.

7. Yang ketujuh belum kami dapatkan nama dan riwayatnya dan belum ada informasi bahwa beliau memiliki keturunan.

Adapun Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi memiliki tiga orang putra dan seorang putri yang semuanya berdakwah dan meninggal di Cirebon Jawa Barat:

1. Syekh Datuk Kahfi. Diketahui memiliki keturunan.

2. Sayyid Abdurrahman (Pangeran Panjunan). Keturunannya mulai terdata.

3. Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan). Diketahui memiliki keturunan.

4. Syarifah Ratu Baghdad, menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Sumber http://azmatkhanalhusaini.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Itemid=56

MENGULAS KEMBALI BUNGA GENGGONG YANG MELAGENDA


Sekuntum bunga Genggong Adalah Bunga yang Ketika Itu banyak tumbuh dalam pekarangan tersebut (Cikal bakal Lokasi Pesantren Zainul Hasan Genggong), menurut legenda bunga itu dipergunakan oleh banyak orang sekitarnya (Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan,Probolinggo) untuk merias pengantin, khitan (Sunatan) dan keperluan pengantin lainnya.

Kemudian mengingat besar arti dan fungsi bunga itu bagi masyarakat sekitarnya, maka diabadaikannya nama bunga itu menjadi nama pondok tersebut, yaitu Pondok Genggong, Yang Kita Kenal Sekarang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong

Kaitannya Nama Bunga Genggong Dengan Pesantren Zainul Hasan, Penjelasannya Sebagai Berikut :
sejak pertumbuhannya telah mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan Pesantren serta pengaruh sekitarnya dan gagasan adanya keinginan untuk mengabadikan para pendiri Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall dengan ketetapan sebagai berikut :

1. Nama Pondok Genggong diabadikan sejak kepemimpinan KH. Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh. Hasan dari tahun 1839 M sampai tahun 1952.

2. Pada tahu 1952 pada masa kepemimpinan KH. Hasan Saifouridzall diganti dengan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) dengan latar belakang berdirinya asrama yang ditempati para santri dan bertambahnya jumlah santri pada masa itu. Nama ini dipakai dari tahun 1952 Masehi – 1959 Masehi.

3. Pada tahun 1959 timbul gagasan untuk merubah nama Pondok dengan motif timbulnya dorongan rasa ingin mengabdi kepada kedua tokoh sebelumnya yang telah berhasil mengorbitkan nama pondok Genggong dikalangan masyarakat luas. Maka sejak tanggal 1 Muharrom 1379 H. / 19 Juli 1959 M. dalam pertemuan dewan pengurus, Al-Mukarrom KH. Hasan Saifouridzall telah menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong (APIG) menjadi Pesantren Zainul Hasan tersebut, adalah hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya dimana kata “ZAINUL” diambil dari nama Almarhum KH. Zainul Abidin dan kata “HASAN” diambil dari nama Al-Marhum KH. Moh. Hasan, sebagai pembina kedua.

Penjelasan Diatas Dapat Kita simpulkan BahwaSanya Bunga Yang Melagenda Pada Masa Itu ,Populer Semenjak Adanya Kiai Zainal Abidin,Kiai Mohamad Hasan Sebagai Cahaya Penerang Masyarakat Pada Masa Itu, dan Pada Ahirnya Menjadikan Nama Pesantren Yang Kita Kenal PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG Dengan puluhan ribu Santri Dan Alumnus Yang Tersebar Diseluruh Nusantara,Malaysia Dan Singapura,

BIOGRAFI SINGKAT KH. MOHAMMAD HASAN



Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus 1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni 1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)

KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak  4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.
Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama
kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.
Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut  70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad lampau.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri beliau tak seorang pun yang memberikan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa kepada Allah memohon kemudahan dalam menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)
Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.
Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.
Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.
KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq…

Manfaat Puasa Bagi Kesehatan


Berpuasa didefinisikan sebagai periode tubuh yang pantang mengasup semua jenis makanan atau makanan tertentu. Bertolak belakang dengan persepsi bahwa berpuasa memburuk kesehatan tubuh, puasa justru memiliki banyak manfaat bagi tubuh.

Menurut AJ Carlson, Profesor Fisiologi di Universitas Chicago seperti dikutip dari MedIndia menyatakan, orang sehat dan tidak memiliki masalah stres serta gangguan emosi dapat bertahan tanpa makanan selama 50-75 hari.

Setiap pon lemak manusia setara dengan 3.500 kalori yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas fisik berat seharian. Berikut beberapa efek positif berpuasa.

Menyembuhkan dengan cepat
Hari-hari awal berpuasa merupakan fase tersulit. Tubuh akan mengeluarkan sejumlah besar racun melalui aliran darah, pori dan organ pembuangan lain. Ini terlihat dari menebalnya lapisan lidah dan nafas yang biasanya lebih berbau pada hari-hari pertama.

Setelah puasa berlanjut pada hari-hari setelahnya, proses pembersihan tubuh disempurnakan. Lemak tubuh yang tidak bermanfaat, racun yang terakumulasi dalam sel tubuh akan dikeluarkan. Sel yang sakit, sel-sel mati, lapisan lendir menebal di dinding usus, limbah aliran darah dikeluarkan lewat hati, limpa, dan ginjal.

Tubuh akan menggunakan mineral penting dan vitamin untuk membuang racun dan jaringan tua. Saat beban racun tubuh berkurang, efisiensi setiap sel ditingkatkan. Sehingga mempercepat proses penyembuhan dan sekaligus menghemat energi.

Lebih Energik
Mengapa orang merasa lebih energik setelah berpuasa? Selain itu, rasa lapar orang yang berpuasa berkurang dibandingkan saat normal.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa tubuh memerlukan energi besar untuk mencerna makanan. Puasa mengistirahatkan sistem pencernaan. Sehingga energi disimpan untuk menyembuhkan diri dan memperbaiki sel tubuh.

Energi akan digunakan untuk membersihan dan detoksifikasi usus, darah, serta menyembuhkan sel-sel tubuh dari berbagai penyakit. Puasa meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kesehatan fisik dan mental serta meremajakan tubuh.

Manfaat khusus
- Mengatasi kecanduan kafein, rokok, nikotin, narkoba dan alkohol.
- Puasa membantu menurunkan kadar kolesterol.
- Puasa mengurangi gangguan sistem pencernaan seperti sembelit, kembung, dan gastritis.
- Puasa dengan kontrol pada penderita diabetes membuat perubahan gaya hidup dan pola makan sehingga akan memperbaiki kondisi mereka.
- Puasa meningkatkan kewaspadaan mental. Racun yang dibersihkan dari sistem limfatik meningkatkan konsentrasi dan energi untuk melakukan aktivitas.

FADHILAT DAN KELEBIHAN SHOLAT TARAWIH




Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah saw sebagai jawaban dari pertanyaan sahabat-sahabat Nabi saw tentang kelebihan sembahyang sunat tarawih pada bulan Ramadhan.

Malam ke-1:
Diampuni dosa-dosa orang yang beriman sebagaimana baru dilahirkan.

Malam ke-2:
Diampunkan dosa orang-orang yang beriman yang mengerjakan sholat Tarawih, serta dosa-dosa kedua orang tuanya.

Malam ke-3:
Para malaikat di bawah 'Arasy menyeru kepada manusia yang mengerjakan sholat tarawih itu agar meneruskan sholatnya pada malam-malam yang lain, semoga Allah mengampunkan dosa-dosa mereka.

Malam ke-4:
Memperoleh pahala sebagaimana pahala orang-orang yang membaca kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur'an.

Malam ke-5:
Allah SWT akan mengkaruniakan pahala seumpama pahala orang-orang yang mengerjakan sembahyang di Masjidil Haram, Masjidil Madinah dan Masjidil Aqsa.

Malam ke-6:
Allah SWT akan mengkaruniakan kepadanya pahala seumpama pahala para malaikat yang bertawaf di Baitul Makmur serta setiap batu dan tanah berdoa untuk keampunan orang yang mengerjakan sholat tarawih pada malam ini.

Malam ke-7:
Seolah-olah ia dapat bertemu dengan Nabi Musa a.s. serta menolong Nabi itu untuk menentang musuhnya Fir'aun dan Hamman.

Malam ke-8:
Allah SWT mengkaruniakan pahala sebagaimana pahala yang dikaruniakan kepada Nabi Ibrahim a.s.

Malam ke-9:
Allah SWT akan mengkaruniakan pahala dan dinaikan mutu ibadah hamba-Nya seperti Nabi Muhammad saw.

Malam ke-10:
Allah SWT mengkaruniakan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Malam ke-11:
Ia meninggal dunia dalam keadaan bersih dari dosa seperti baru dilahirkan.

Malam ke-12:
Ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan muka yang bercahaya.

Malam ke-13:
Ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aman sentosa dari tiap-tiap kejahatan dan keburukan.

Malam ke-14:
Para malaikat akan datang menyaksikan mereka bersholat Tarawih serta Allah SWT tidak akan menyesatkan mereka.

Malam ke-15:
Semua malaikat yang memikul 'Arasy, Kursi akan bershalawat dan mendoakan supaya Allah SWT mengampuni kita.

Malam ke-16:
Allah SWT menuliskan baginya terlepas dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga.

Malam ke-17:
Allah SWT menuliskan baginya pahala pada malam ini sebanyak pahala Nabi-Nabi.

Malam ke-18:
Malaikat akan menyeru "Wahai hamba Allah sesungguhnya Allah telah ridha kepada engkau dan ibu bapak engkau (baik yang masih hidup atau yang sudah wafat)".

Malam ke-19:
Allah akan meninggikan derajatnya di dalam syurga Firdaus.

Malam ke-20:
Allah SWT mengkaruniakan kepadanya pahala semua orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh.

Malam ke-21:
Allah SWT akan membina untuknya sebuah mahligai di dalam syurga yang dibuat dari Nur.

Malam ke-22:
Ia akan datang pada hari kiamat di dalam keadaan aman daripada duka cita dan kerisauan (di Padang Mahsyar).

Malam ke-23:
Allah SWT akan membina untuknya sebuah bandar di dalam syurga yang terbuat dari Nur.

Malam ke-24:
Allah bukakan perluang 24 doa yang mustajab bagi orang yang bertarawih pada walam ini (lebih elok dikerjakan ketika sujud).

Malam ke-25:
Allah akan mengangkat siksa kubur darinya.

Malam ke-26:
Allah akan mengkaruniakan pahala 40 tahun ibadah.

Malam ke-27:
Allah akan mengkaruniakan kepadanya kemudahan untuk melintasi titian Shiratalmustaqim seperti kilat yang menyambar.

Malam ke-28:
Allah akan menaikkan kedudukannya 1000 derajat di akhirat.

Malam ke-29:
Allah akan mengkaruniakan pahala 1000 kali haji yang mabrur.

Malam ke-30:
Allah akan memberi penghormatan kepada orang yang bertarawih pada malam terakhir dengan firman-Nya: "Wahai hamba-Ku, makanlah segala jenis buah-buahan yang engkau ingini untuk dimakan di dalam syurga dan mandilah kamu di dalam sungai yang bernama Salsabila, serta minumlah air dari telaga yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad saw yang bernama Al-Kautsar."

Sabtu, 06 Agustus 2011

Polemik Islam dan Kristen tentang Puasa Ramadhan


Umat Islam yang beriman pasti menyambut bulan Ramadhan yang penuh ampunan dan barakah dengan suka cita. Betapa tidak, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari disebutkan bahwa Allah memberikan berbagai keistimewaan kepada Ramadhan, antara lain: pintu-pintu surga terbuka lebar, pintu neraka ditutup rapat, dan ketika setan-setan dibelenggu tak berdaya, bau mulut yang sedang puasa itu lebih wangi di sisi Allah dibandingkan bau kesturi, dan diampuni dosa-dosa yang telah lewat.

Sebagai imbalannya, Allah sendiri yang akan mengganjar dengan surga khusus bagi orang yang berpuasa (shaum): "Sesungguhnya di surga itu ada sebuah pintu yang dinamakan Royyan, ahli puasa akan memasukinya melalui pintu itu pada hari kiamat, tidak seorang pun selain mereka memasuki melalui pintu itu" (HR Al-Bukhari).

Puasa dalam Alkitab (Bible)

Ir Herlianto, ilmuwan Kristen dari Yabina Ministry Bandung menyoal puasa, “Asal perintah puasa dalam Perjanjian Lama tidak jelas, tercatat ketika Israel menghadapi Filistin mereka mengaku dosa dan berpuasa.”

Pernyataan ini tidak benar, hanya menutupi kebenaran, seolah-oleh puasa itu bukan perintah Tuhan. Padahal dalam kitab Taurat dengan jelas Nabi Musa diwajibkan untuk berpuasa dan berhenti total dari segala aktivitas. Bila dilanggar, sangsinya adalah dilenyapkan dan dibinasakan oleh Tuhan. Ketetapan ini berlaku sepanjang masa selama-lamanya.

“Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu…Hari itu harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya” (Imamat 16: 29-31; bdk. Bilangan 29: 7).

"Akan tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang ketujuh itu ada hari Pendamaian; kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban api-apian kepada Tuhan. Pada hari itu janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah hari Pendamaian untuk mengadakan pendamaian bagimu di hadapan Tuhan, Allahmu. Karena setiap orang yang pada hari itu tidak merendahkan diri dengan berpuasa, haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Setiap orang yang melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, orang itu akan Kubinasakan dari tengah-tengah bangsanya" (Imamat 23: 27-30).

Nabi-nabi yang lain pun mengekspresikan syariat puasa sesuai dengan situasi yang berlangsung.

a. Puasa pada masa Samuel untuk bertaubat kepada Tuhan (I Samuel 7:6) dan berkabung (I Samuel 31:13; II Samuel 1:12).

b. Nabi Daud berpuasa sampai badannya kurus kehabisan lemak (Mazmur 109:24);

c. Nehemia berpuasa ketika berkabung (Nehemia 1:4),

d. Daniel juga berpuasa (Daniel 9:3),

e. Yoel berpuasa bersama penduduk negerinya (Yoel 1:14),

f. Yunus berpuasa (Yunus 3:5),

g. Zakharia diperintah Tuhan untuk berpuasa (Zakharia 7:5),

h. warga Yerusalem berpuasa pada bulan kesembilan (Yeremia 36:9), dll.

i. Nabi Musa dan Yesus sama-sama berpuasa selama 40 hari. Musa berpuasa jasmani dan rohani, tidak makan dan tidak minum selama 40 hari 40 malam pada saat menerima Sepuluh Firman (The Ten Commandments):

“Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman” (Keluaran 34:28).

Sementara Yesus berpuasa 40 hari 40 malam hingga kelaparan pada saat dicobai iblis di padang gurun. “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus” (Matius 4:2).

Dalam Injil sendiri, puasa adalah identitas ketakwaan, kesalehan dan kepatuhan kepada Tuhan. Hana, seorang nabi perempuan tidak pernah meninggalkan ibadah puasa dalam rangka mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan (Lukas 2:36-37). Yesus menginstruksikan para muridnya untuk berdoa dan berpuasa untuk mengusir setan yang merasuki manusia (Matius 17:21). Orang Farisi pada masa Yesus melakukan puasa dua kali seminggu, tepatnya hari Senin-Kamis setiap pekan (Lukas 18:12). Yesus pun menyatakan dengan tegas bahwa para muridnya pun berpuasa (Lukas 5:33-35; Matius 9:14-15; Markus 2:18-20) dengan ikhlas hanya karena Allah semata (Matius 6:16-18).

Sepanjang Zaman Manusia Butuh Puasa

Ibadah puasa termasuk salah satu syariat tertua, karena sudah disyariatkan kepada umat sebelum umat Muhammad SAW. Hal ini seperti disebutkan dalam firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah 183).

Firman Allah “kama kutiba 'alal ladzina min qablikum” ini menunjukkan bahwa ibadah puasa telah dilakukan oleh orang-orang beriman sebelum Nabi Muhammad SAW. Maka ada baiknya kita menengok sejenak ke masa silam untuk mengungkap perbandingan puasa dengan umat terdahulu. Dalam lembaran sejarah kita bisa menemukan berbagai ritual puasa dengan kaifiyat (tatacara) tertentu dan berbeda. Hal ini bisa dimaklumi, karena semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Sehingga semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian, serta mensyariatkan shalat, puasa, dan zakat, dengan cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Dalam kisah para nabi Allah, sejarah mencatat syariat puasa terhadap umat-umat terdahulu. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, Nabi Adam diperintahkan untuk berpuasa tidak memakan buah khuldi (Qs. Al-Baqarah 35).

Maryam bunda Nabi Isa pun berpuasa hingga tidak bicara kepada siapapun (Qs. Maryam 26). Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Nabi Daud berpuasa selang-seling (sehari berpuasa dan sehari berikutnya berbuka) pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain.

Kristen Ortodoks Syria (KOS) –sebuah sekte Kristen yang atributnya mirip dengan simbol Islam: mengenakan jubah, kopiah, gamis, surban, kerudung, rebana, memuji Tuhan dan membaca Injil dengan bahasa Arab – berpuasa agung “shaumil kabir” selama 40 hari berturut-turut, pada tiap tahun sekitar bulan April. Puasa yang dilakukan jemaah KOS tidak ada makan sahur. Puasa KOS lainnya adalah puasa Rabu dan Jum’at dalam rangka mengenang kesengsaraan Kristus.

Berbeda dengan aturan puasa menurut Katolik. Sebagai contoh peraturan yang dibuat oleh keuskupan Surabaya tahun 2004 yang ditandatangani oleh Romo Julius Haryanto, CM, sesuai dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik (Kanon No. 1249-1253) dan Statuta Keuskupan Regio Jawa No. 111, maka ditetapkan: Semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60 wajib berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Dalam arti yuridis, puasa orang Katolik ini berarti makan kenyang hanya sekali sehari.

Selain itu, bangsa Mesir kuno selalu berpuasa 7 hari hingga 6 minggu setiap tahun. Mereka menjadikan puasa sebagai cara untuk menebus dosa dan penyesalan atas kesalahan perbuatan. Orang-orang Yunani, terutama perempuan, berpuasa sebagai ungkapan berkabung, atau berpuasa beberapa hari sebekyn melakukan peperangan. Orang-orang Cina berpuasa pada hari-hari biasa lebih-lebih lagi pada masa menghadapi musibah. Orang-orang Tibet ada yang dapat menahan diri berpuasa selama 24 jam berturut-turut sehingga air liur sendiri pun tidak boleh ditelan.

Begitu pentingnya puasa dalam kehidupan, sampai-sampai binatang pun melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular berpuasa untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Ternyata puasa adalah sunnah kehidupan (sunnah thabi’iyah) untuk bertahan hidup.

Manfaat Puasa

Banyak manfaat yang dapat ditarik dari bulan suci. Sejumlah gejala penyakit bisa disembuhkan dengan terapi puasa, antara lain sakit mag. Serangan penyakit yang memaksa orang terkapar di tempat tidur itu bisa mendadak lenyap saat bulan Ramadhan. Sebab, selama puasa, zat-zat beracun yang ada atau zat berlebihan dalam tubuh dibuang. Pada rentang waktu itu pula, alat pencernaan beristirahat setelah bekerja keras sebulan penuh. Jadi, puasa berperan sebagai alat detoksifikasi. Hembing Wijayakusuma, ahli pengobatan tradisional, dalam bukunya, Puasa Itu Sehat menyebutkan, puasa menghasilkan efek kekuatan luar biasa bagi tubuh. Ketika berpuasa, sekitar 600 milyar sel dalam tubuh menghimpun diri agar dapat bertahan hidup.

Selain faktor fisik, puasa juga bermanfaat sebagai terapi psikis. Menurut ahli penyakit jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dadang Hawari Idries, puasa bisa mengendalikan amarah dan nafsu seks. Di sini emotional quotient seseorang diasah. Puasa juga mengajarkan kesabaran. Ini secara tak langsung menjadi terapi bagi sejumlah penyakit kejiwaan, seperti stres dan sindrom pasca-kekuasaan (post-power syndrome). Pengaruhnya bakal mengenai penyakit fisik lain.

Ada empat sehat yang bisa ditingkatkan lewat puasa. Selain sehat jiwa (emotional quotient), juga ada sehat badan (intelligent quotient), sehat kreativitas (creativity quotient), dan sehat spiritual (spiritual quotient).

Tentu saja, puasa akan kentara faedahnya jika dikerjakan secara benar: berpuasa selama 14 jam. Selain itu, tak menunda-nunda waktu buka puasa atau mempercepat sahur. Ini biasanya cobaan yang terkadang sulit dihadapi sejumlah muslim. Mereka mempercepat sahur pada pukul 01.00 karena malas makan pada pukul 04.00 atau menjelang imsak. Atau malah sahur pada pukul 10 malam.

Bila itu terjadi, justru penyakit yang bakal muncul. Sebab, pada saat puasa, cadangan glikogen pada tubuh akan dikeluarkan dan dirombak menjadi tenaga. Tapi, cadangan glikogen ini terbatas. Bila ia habis, tubuh akan mengorbankan lemak dan protein untuk diolah sebagai tenaga. Bila itu terjadi, badan akan terasa lemah, loyo, dan tak bisa menjalani aktivitas seharian. Jadi, puasa tetap ada aturannya. [a. ahmad hizbullah mag]

Sumber :http://www.voa-islam.com/

Pendidikan Pesantren Dalam Konteks Peradaban : Analisis Nilai Dan Unsur Pesantren


Oleh : Ustadz Yayat Hidayat

Sejak lama pemerintah Indonesia telah memiliki perhatian yang khusus kepada pesantren.‭ ‬Hal ini setidaknya dibuktikan dengan pengakuan pemerintah terhadap pesantren sebagai salah satu sumber pembangunan nasional.‭ ‬Namun dalam konteks masa lalu pesantren dan pemerintah masih terlihat hubungan dualisme yang ambivalen.

Seiring dengan pergeseran ruang dan waktu,‭ ‬dalam beberapa kurun terakhir perhatian pemerintah terhadap pesantren terlihat semakin serius,‭ ‬dan hubungan keduanya semakin sinergis,‭ ‬bahkan strategis.‭ ‬Melalui Departemen Agama,‭ ‬misalnya,‭ ‬pemerintah terus berupaya mensinergiskan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum dalam semua aspeknya.‭ ‬Demikian juga melalui Departemen Kesehatan,‭ ‬Pemerintah terlihat semakin memperhatikan kiprah pesantren dalam bidang kesehatan,‭ ‬dengan program Puskestren-nya.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi pesantren,‭ ‬melalui Kementrian Koperasi,‭ ‬usaha kecil dan menengah,‭ ‬pemerintah berupaya menggerakkan potensi ekonomi pesantren.‭ ‬Dukungan modal,‭ ‬dana bergulir,‭ ‬program pembinaan dan pelatihan serta bantuan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi pesantren melalui wadah Kopentren,‭ ‬merupakan bukti kongkrit perhatian pemerintah terhadap pengembangan potensi perekonomian pesantren.

Beberapa tawaran penting dari pemerintah terhadap pesantren merupakan peluang yang harus ditangkap oleh pesantren dengan sikap professional.‭ ‬Oleh karena itu,‭ ‬pesantren dituntut memiliki kesiapan lahir batin agar peluang yang ada dapat dijadikan kekuatan dan tidak berbalik arah menjadi hambatan atau bahkan menjadi ancaman bagi eksistensi pesantren,‭ ‬baik secara institusi maupun terhadap individu-individu yang ada di dalamnya.‭ ‬Untuk itu,‭ ‬pesantren harus belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalu,‭ ‬baik pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.

‎ ‏Eksistensi pesantren tidak dapat dilepaskan dari pandangan atau animo masyarakat terhadap pesantren.‭ ‬Dalam kaitannya dengan‭ “‬Pendidikan dalam Teologi Pesantren‭” ‬setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu digaris bawahi,‭ ‬di antaranya adalah‭;

Pertama,‭ ‬sebagian masyarakat saat ini masih menganggap bahwa pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang berpikiran‭ (‬berpendidikan‭)‬ kolot,‭ ‬kotor dan tidak siap menerima perubahan dalam semua tataran kehidupan maupun keilmuan.‭

Kedua,‭ ‬sebagian besar masyarakat saat ini memandang bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan eksklusif yang hanya‭ ‬berorientasi pada kehidupan akhirat.‭ ‬Para santri hanya dibina dan untuk menjadi individu yang saleh secara‭ ‬vertical-trancendental.‭ ‬Padahal secara empiris masyarakat menyaksikan bahwa dalam kehidupan ini tidak ada korelasi yang signifikan antara kesalehan seseorang‭ (‬suatu Bangsa‭) ‬dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Ketiga,‭ ‬beberapa kasus bom bunuh diri yang terjadi di wilayah Indonesia,‭ ‬tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa santri‭ ‬dan lingkungan‭ ‬pondok pesantren identik dengan sarang‭ (‬pendidikan‭)‬ teroris,‭ ‬sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan generalisasi,‭ ‬yang tidak sepenuhnya benar.

Keempat,‭ ‬dalam tataran praktik muamalah termasuk di dalamnya masalah‭ ‬pendidikan‭ ‬perekonomian masyarakat pesantren diposisikan sebagai komunitas yang tidak dapat diajak professional.‭ ‬Banyaknya kasus penyelewengan dana KUT oleh beberapa oknum pesantren,‭ ‬tidak adanya pembedaan keuangan pribadi dan institusi,‭ ‬dan perilaku lainnya.‭ ‬Seperti sulit menghargai waktu,‭ ‬menjadikan masyarakat umum memandang komunitas pesantren sebagai masyarakat yang tidak professional.

Diakui atau tidak,‭ ‬kondisi di atas telah menjadi animo yang diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat.‭ ‬Oleh karena itu,‭ ‬seiring dengan munculnya berbagai peluang bagi pesantren,‭ ‬termasuk peluang dalam hal pengembangan institusi pendidikan‭ (‬tradisi pengembangan keilmuan pesantren‭) ‬dan pengembangan perekonomian pesantren,‭ ‬komunitas pesantren dituntut untuk bisa bersaing dan memiliki kesadaran untuk segera melakukan persiapan secara utuh baik lahir maupun batin.‭ ‬Dengan kesadaran ini,‭ ‬diharapkan pesantren bukan saja dapat meminimalisir animo miring masyarakat umum terhadap pesantren,‭ ‬akan tetapi juga dapat ikut ambil bagian strategis dalam proses pembangunan Nasional,‭ ‬khususnya melalui pembangunan‭ ‬pendidikan‭ ‬tradisi keilmuan yang dimiliki pesantren dan peran strategis pembangunan ekonomi masyarakat,‭ ‬melalui wadah kopontren dan UKM.

Pondok pesantren pada awal perkembangan merupakan Lembaga Pendidikan‭ ‬Indegenous‭ ‬dan penyebaran agama Islam di Indonesia tumbuh dari dalam dan untuk masyarakat‭ (‬Nurkholis Madjid,‭ ‬1997:‭ ‬3‭)‬.‭ ‬Pada abad ke-‭ ‬16‭ ‬M pesantren sebagai Lembaga‭ ‬Pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama Islam.‭ ‬Selanjutnya kehadiran Pesantren adalah sebagai pemenang dari persaingan‭ “‬nilai‭” ‬dengan‭ “‬nilai‭” ‬yang dianut oleh masyarakat‭ ‬sebelumnya,‭ ‬sehingga Pesantren dapat diterima sebagai panutan masyarakat,‭ ‬khususnya di bidang moral.

Pesantren telah berkembang untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat.‭ ‬Kehadiran‭ ‬pesantren di samping melayani kebutuhan pendidikan ketika masyarakat cinta terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan ketika Lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke pelosok-pelosok desa,‭ ‬pesantren juga melayani kebutuhan‭ ‬kesehatan‭ ‬masyarakat ketika pengobatan modern belum mampu menyentuh wilayah pedesaan sebagai bentuk kesalehan sosial.‭ ‬Lebih dari itu pesantren telah dapat menjadi simbol yang menghubungkan dunia pedesaan dengan dunia luas ketika penetrasi birokrasi dan kemudian media massa ke daerah pedesaan belum terlalu dalam.‭ ‬Bahkan pesantren telah menjadi simbol kekuatan sosial politik tandingan ketika partai politik modern belum menyentuh pedesaan‭ (‬M.‭ ‬Dawam Raharjo,‭ ‬1985‭ ‬:‭ ‬290‭)‬.

Perkembangan pesantren seperti telah dipaparkan diatas,‭ ‬yang menurut M.A.‭ ‬Fattah Santoso dalam tulisannya yang berjudul‭ “‬Pengembangan‭ ‬Masyarakat Melalui Pesantren‭ ‬:‭ ‬Mencari Akar Teologis‭“‬,‭ ‬Pesantren‭ ‬memberikan indikasi adanya daya suai dan daya tahan tertentu dalam diri pesantren terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.‭ ‬Persoalan yang muncul di kalangan pengamat pesantren pada parohan kedua dasawarsa‭ ‬1970-an adalah‭ ‬:‭ ‬Apakah daya tahan dan daya suai pesantren yang secara historis ada itu dapat dijadikan pangkal titik tolak untuk mengantisipasi pembangunan yang telah dijalani bangsa Indonesia‭? ‬Pembangunan memerlukan dukungan dari pesantren karena pesantren yang kebanyakan berbasis di pedesaan dan diperkirakan pengaruhnya berakar di masyarakat itu yang dihadapkan pada masalah‭ ‬keterbelakangan mayoritas rakyat Indonesia‭ ‬di‭ ‬pedesaan akibat polarisasi ekonomi yang belum tuntas terpecahkan selama dua dasawarsa terakhir sejak pemerintahan orde baru mencanangkan program pembangunan nasional‭ (‬Sudirman Tebba,‭ ‬tt‭ ‬:‭ ‬I‭)‬.‭ ‬Walaupun paradigma pertumbuhan yang pada mulanya menjadi acuan pembangunan nasional telah dikoreksi dengan paradigma pemerataan sejak awal pelita III‭ “ ‬pembangunan lima tahun tahap III‭ “ (‬Moelyanto Tjokrowinoto,‭ ‬1986:‭ ‬109‭)‬.‭ ‬Dan keterbelakangan mayoritas rakyat,‭ ‬bagaimanapun menyebabkan potensi-potensi mereka tidak berkembang.‭

Atas dasar kesadaran akan kenyataan mayoritas rakyat yang belum menggembirakan itu,‎ ‏dan dalam rangka mengaktualisasikan daya tahan dan daya suai terhadap perkembangan masyarakat,‭ ‬beberapa pesantren pada akhir dasawarsa‭ ‬1970-an dan awal dasawarsa‭ ‬1980-an telah‭ ‬merintis program-program pengembangan masyarakat melalui bantuan dari dan kerja sama dengan Lembaga-Lembaga diluar pesantren,‭ ‬seperti Lembaga Penelitian,‭ ‬LP3ES,‭ ‬DEPAG,‭ ‬BKKBN,‭ ‬dan Organisasi-Organisasi non kepemerintahan yang lain,‭ ‬baik dari dalam maupun luar negeri.‭

Yang menarik dari program-program pengembangan‎ ‏masyarakat itu adalah orientasinya kepada pemecahan masalah,‭ ‬yaitu membantu masyarakat‭ ‬mengatasi persoalan mereka‭ ‬sendiri.‭ ‬Dengan demikian,‭ ‬masyarakat dihormati hak-hak keterampilan,‭ ‬dan aspirasi mereka dalam mengatasi berbagai persoalan mereka.‭ ‬Sehingga seluruh proses kegiatan merupakan proses pendidikan bagi masyarakat.‭ ‬Di bidang ekonomi misalnya,‭ ‬kepada masyarakat tidak hanya diajarkan tentang teori jual beli dalam setiap kajian tapi ada bentuk konkrit kerja salah satunya adanya Usaha Bersama Simpan Pinjam‭ (‬UBSP‭) ‬sebagai wahana pendidikan ekonomi,‭ ‬yaitu‭ ‬:‭ ‬bagaimana menghimpun modal bersama,‭ ‬menyediakan bahan baku,‭ ‬meningkatkan produksi,‭ ‬melakukan pemasaran,‭ ‬sampai bagaimana memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan ekonomi‭ ‬.‭

Pro dan kontra terhadap program pengembangan masyarakat melalui pesantren mengimplisitkan kebaruan program tersebut bagi dunia pesantren,‎ ‏padahal pesantren sebagai Lembaga sosial keagamaan memiliki juga program-program sosialnya,‭ ‬seperti memberikan layanan medis tradisional dan layanan konsultatif tentang persoalan kehidupan sehari-hari‭ (‬Mansour Faqih,‭ ‬1987‭ ‬:‭ ‬5‭)‬.‭ ‬Adakah perbedaan program sosial yang konvensional dan program pengembangan masyarakat‭? ‬menurut pengamatan Mansour Faqih,‭ ‬seorang aktivitis‭ (‬pada dasawarsa‭ ‬1980-an‭) ‬dari Lembaga P3M yang mengkoordinasikan jaringan kerja antara pesantren-pesantren yang melaksanakan program pengembangan masyarakat,‭ ‬terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya baik dalam basis filosofis dan motivasinya maupun dalam pendekatan dan teknik-teknik operasionalnya.‭ ‬Dengan di perolehnya informasi tentang perbedaan mendasar program pengembangan masyarakat dari program sosial konvensional pesantren,‭ ‬diajukan pertanyaan sebagai berikut‭ ‬:

‎ ‏Mengapa pengembangan masyarakat melalui‭ ‬pendidikan‭ ‬pesantren‭ ‬menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam dunia pesantren‭ ‬terutama‭ ‬Indonesia atau lebih rincinya bagaimana gagasan konseptualisasi,‭ ‬sosialisasi,‭ ‬dan aktualisasi pengembangan masyarakat‭ ‬melalui‭ ‬pendidikan‭ ‬pesantren.‭ ‬Masalah-masalah diatas itulah yang ingin dicari‭ ‬jawabannya melalui‭ ‬tulisan ini.

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren.‭ ‬Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia.‭ ‬Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini.‭ ‬Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya.‭ ‬Karenanya banyak pakar,‭ ‬baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian.‭ ‬Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

Sungguh menarik‭ ‬apa yang disampaikan oleh‭ ‬Muhammad Jamhuri‭ ‬Ketua‭ ‬Sekolah Tinggi Agama Islam‭ (‬STAI‭) ‬Asy-Syukriyyah-Tangerang‭;‬ banyak‭ ‬para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena‭ “‬modelnya‭”‬.‭ ‬Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya.‭ ‬Belum lagi kesederhanaan,‭ ‬sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,‭ ‬hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana.‭ ‬Walau di tengah suasana yang demikian,‭ ‬yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat,‭ ‬negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata.‭ ‬Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini,‭ ‬baik di masa pra kolonial,‭ ‬kolonial dan pasca kolonial,‭ ‬bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.

Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini,‭ ‬ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren.‭ ‬Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian,‭ ‬sehingga -paling tidak- ‭ ‬mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita yaitu kepincangan pola pikir.

Bentuk,‭ ‬sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi‭; ‬Periode Ampel‭ (‬salaf‭) ‬yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif.‭ ‬Kedua,‭ periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem,‭ ‬metode dan fisik bangunan.‭ ‬Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor.‭ ‬Sebelum Ampel muncul,‭ ‬telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim.‭ ‬Demikian juga halnya dengan Gontor,‭ ‬sebelumnya telah ada‭ –‬yang justru menjadi cikal bakal Gontor-‭ ‬pesantren Tawalib,‭ ‬Sumatera.‭ ‬Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi,‭ ‬tapi juga pada gaya hidup.‭ ‬Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi.‭ ‬Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan.‭ ‬Hal ini bisa dimaklumi,‭ ‬mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat,‭ ‬hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi:‭ ‬“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum‭ (‬golongan‭)‬,‭ ‬maka dia termasuk golongan itu‭”‬.

Dalam hal ini,‭ ‬Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu.‭ ‬Namun demikian bukan tidak beralasan.‭ ‬Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terbelakang dan ketinggalan zaman.‭ ‬Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama,‭ ‬dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal.‭ ‬Di antaranya:‭ ‬tidak bermazdhab,‭ ‬penerapan organisasi,‭ ‬sistem kepimimpinan sang Kyai yang tidak mengenal sistem waris dan keturunan,‭ ‬memasukkan materi umum dan bahasa Inggris,‭ ‬tidak mengenal bahasa daerah,‭ ‬penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan,‭ ‬olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain.‭ ‬Oleh karena itu Gontor mempunyai empat prinsip,‭ ‬yaitu:‭ ‬berbudi tinggi,‭ ‬berbadan sehat,‭ ‬berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan,‭ ‬terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang,‭ ‬baik di instansi pemerintah maupun swasta.‭ ‬Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama,‭ ‬pejuang kemerdekaan ‭ ‬dan mereka yang ‭ ‬memenuhi kebutuhan lokal,‭ ‬maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini.‭ ‬Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua fase‭; ‬fase Ampel dan fase Gontor.

Satu persamaan yang dimiliki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya,‭ ‬dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang,‭ ‬terbukti kemampuan membaca kitab kuning‭ (‬turost‭) ‬masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazhab Gontor.

Pemerintah melalui‭ ‬Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan,‭ ‬yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama.‭ ‬Maka berdirilah MI,‭ ‬Mts,‭ ‬Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga‭ ‬Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama.‭ ‬Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri‭ (‬Menag,‭ ‬Mendikbud,‭ ‬Mendagri‭)‬.‭ ‬Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.

Namun demikian,‭ ‬setelah berjalannya proses kebijakan tersebut,‭ ‬terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan,‭ ‬baik mutu pengajar,‭ ‬alumni‭ (‬siswa‭) ‬dan materinya,‭ ‬sehingga cita-cita ‭ ‬mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan.‭ ‬Hal‭ ‬ini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan.‭ ‬Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung,‭ ‬menjadi seorang profesional pun tidak,‭ ‬ulama pun tidak,‭ ‬Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan.‭ ‬Sehingga pada waktunya nanti‭ ‬Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama.‭ ‬Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah.‭ ‬Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum.‭ ‬Alasannya sederhana,‭ ‬lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum,‭ ‬walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar,‭ ‬tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.

Lebih ironi lagi,‭ ‬pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN.‭ ‬Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri.‭ ‬Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim.‭ ‬Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan‭ ‬,‭ ‬kwalitaslah yang menjadi acuan,‭ ‬bukan formalitas.

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah.‭ ‬Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi.‭ ‬Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

Beberapa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan masih terdapatnya‭ ‬beberapa kelemahan.‭ ‬Karena itu kini banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat.‭ ‬Sekolah-sekolah unggulan,‭ ‬SMP Plus,‭ ‬SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas.‭ ‬Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren.‭ ‬Dipergunakannya nama‭ “‬SMP‭” ‬dan‭ “‬SMU‭” ‬di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market‭ (‬pasar‭)‬.‭ ‬Sebab,‭ ‬nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum.‭ ‬Terbukti adanya sejumlah sekolah ini yang melahirkan‭ “‬Huffadz‭” (‬penghafal al-Quran‭) ‬padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.

Di sisi lain,‭ ‬bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam.‭ ‬Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH.‭ ‬Zainuddin MZ sebagai‭ “‬Hati Mekkah,‭ ‬Otak Jerman‭”‬.‭ ‬Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar.‭ ‬Soalnya,‭ ‬pendidikan Islam harus bersemboyan‭ “‬Hati,‭ ‬Otak dan jiwa harus Islami‭”‬,‭ ‬dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.

Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren,‭ ‬Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa.‭ ‬Untuk menghasilkan alumi yang handal,‭ ‬lembaga ini menyaring calon siswanya dengan ujian masuk yang ketat.‭ ‬Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa.‭ ‬Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi.‭ ‬Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat.‭ ‬Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.

Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses‭?‬. ‭ ‬Belum tentu,‭ ‬selain belum lahirnya para alumni model ini,‭ ‬sistem pendidikan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman.‭ ‬Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua dasawarsa ke depan.

Sumber : http://www.belajarislam.com/

Santri Dikenalkan Teknologi Informasi


Menguasai teknologi informasi merupakan suatu keharusan bagi santri Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Hasan yang berada di Blok Brak, Desa Banjarsari, Kecamatan Suberasih, Kabupaten Probolinggo. Para santri Ponpes Nurul Hasan Banjarsari tak akan gagap teknologi lagi. Mereka sudah siap menjadi generasi muda NU yang siap ‘go international’. Masuk di kawasan Ponpes Nurul Hasan ini, tak ubahnya seperti berada di lingkungan pendidikan pada umumnya. Suasananya Yang Masih ASRI. Di sekitar bangunan yang menempati lahan sekitar satu hektar itu, Terdapat pula Pepohonan Yang terawat. Dari dalam gedung, banyak terdengar suara para santri menghafal pelajaran. Suara santri banyak terdengar dengan logat Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Namun para santri tetap dituntut memahami kultur santri dalam pemahaman Aswaja untuk mengenal ragam dan corak budaya Indonesia. “Enak belajar di sini,” kata Abdul Adzim, salah seorang santri.

Meskipun bedirinya Ponpes ini tergolong masih muda, namun bagi para santri suasana pesantren sungguh menyenangkan. Para ustad dinilainya amat komunikatif. Ikatan batin antara santri dan pengajar pun terjalin kuat. Ketika seorang santri melontarkan pertanyaan, para ustad memberikan respon positif. Cepat memberi pertolongan atau petuah jika santri menemui kesulitan.
Seperti juga kehidupan di Ponpes lainnya, dalam kehidupan sehari-hari, santri menyatu dengan santri lain. Semua santri memiliki rasa tanggung jawab yang sama terhadap sesama rekan mereka. Jika seorang santri mengalami kesulitan berarti rekan-rekan mereka mengalami penderitaan yang sama.

Karena itu, tak heran, sekilas, para santri terlihat manja dengan para pengajar. Namun hal itu bukan berarti para santri mengabaikan rasa hormat. “Itu semata-mata karena hubungan antara santri dan pengajar bagai orangtua dan anak. Pendekatan yang digunakan disini adalah komunikasi, mengutamakan akhlakul karimah,” kata Ustadz Amin.

Menurut Gus Idrus, pesantren saat ini berhadapan dengan arus globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan cepatnya laju informasi dan teknologi. “Karena itu, pesantren harus melakukan perubahan format, bentuk, orientasi dan metode pendidikan dengan catatan tidak sampai merubah visi, misi dan orientasi pesantren itu,” ujar Gus Idrus.

Ia katakan, perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara pada sisi dalam (ruh, semangat, pemahaman keagamaan, nilai-nilai, tradisi dan ideologi pesantren) masih tetap dipertahankan. Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal, kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan), dan tangan (keterampilan), untuk membentuk pribadi santri. (syifa')

Jumat, 05 Agustus 2011

Saatnya Santri Melek Internet

Dengan internet, daya jangkau dakwah menjadi sangat luas.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhh2bqbWWy7er5dAl4xvAuQHb6wR2w2Ahh_hbR_UuXz3aTkApvIJ2Imkp8_ocR5919d7pP2kTEOATePTtHOjaXPtRlA7tCoDYGNx7StXuCkoIT3QpjQbRapLiktU_s8voVXE6EQ_HCFG3E/s400/images.jpgInternet tak bisa dilepaskan dalam kehidupan era digital saat ini. Perkembangan teknologi mendorong manusia untuk bersentuhan dengan internet di hampir setiap urusan. Bagaimana dengan kalangan pesantren? Selama ini, ada kesan kalangan pesantren kurang melek teknologi, termasuk internet. Pesantren masih dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan yang terbelakang. Jangankan internet, komputer saja masih belum banyak disentuh para santri.

Buku yang terbagi menjadi enam bagian ini bercerita bagaimana kalangan pesantren bersentuhan dengan internet. PT Telkom Indonesia Tbk dan Harian Republika mencoba menyatukan dua sosok, internet dan pesantren, dengan mengadakan pelatihan Santri Indigo. Pelatihan ini diberikan kepada santri di beberapa pesantren berupa pengenalan sampai pemanfaatan internet.

Sebelumnya, pelatihan ini sudah banyak diliput oleh media massa. Untuk melengkapi dokumen yang sudah ada serta memberi nuansa lebih tentang pelatihan tersebut, proses perjalanannya dituangkan dalam bentuk buku.

Bab pertama buku ini mengulas sejarah dan peran pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Di samping itu, pesantren juga sebagai salah satu kekuatan utama dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagai lembaga yang menjunjung nilai-nilai keagamaan, pesantren telah ikut memberi warna dalam perjalanan bangsa ini sejak zaman perjuangan melawan Belanda, pada masa kemerdekaan, sampai kondisi bangsa terkini. Pesantren telah banyak melahirkan pemimpin bangsa.

Bab kedua buku ini memaparkan berbagai contoh kesenjangan penguasaan teknologi di Indonesia. Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan tak bisa dibendung lagi, namun di Indonesia penyebarannya belum begitu merata. Banyak kendala yang harus diatasi, luasnya negara Indonesia dan banyaknya pulau menjadi salah satu alasan teknologi belum bisa dinikmati secara merata oleh bangsa Indonesia.

Bagian tiga buku dengan ketebalan 189 halaman ini mengulas dilema masuknya teknologi khususnya internet di lingkungan pesantren. Secara gamblang, buku ini menjelaskan mengapa alat komunikasi internasional yang dianggap sebagian masyarakat sebagai sarang kemaksiatan ini layak dipelajari oleh para calon dai di pesantren.

Ibarat pisau bermata ganda, demikian sebutan untuk internet, bisa digunakan untuk hal-hal yang positif, konstruktif, namun juga bisa untuk hal yang negatif. Kehadiran internet tidak untuk ditolak dan dijauhi, namun harus kita dekati, dipelajari, dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat.

Paradigma masyarakat bahwa internet sangat dekat dengan pornografi tidak salah, namun masih terbuka lebarpeluang untuk mengubah internet menjadi sumur pengetahuan, bahkan sebagai media dakwah.

Bagaimana caranya? Para santri yang juga sebagai calon dai harus menguasai teknologi termasuk internet, lalu membanjiri internet dengan konten-konten yang bermanfaat. Juga filtering terhadap konten sampah harus dilakukan. Pun diperlukan peran pemerintah dengan berbagai kebijakan dan peraturan.

Selain itu, upaya untuk menandingi konten negatif di internet diperlukan gerakan massa {mass action) dengan cara membanjiri internet dengan informasi berkualitas.

Di Indonesia, terdapat 45 juta orang telah menjadi penduduk internet. Sebanyak 64 persen di antaranya berusia muda (15-19 tahun). Mereka itulah yang biasa disebut sebagai generasi netizen, artinya generasi yang ketika lahir telah mengenal teknologi informasi. Di antara para penduduk internet Indonesia itulah juga terdapat para santri.

Para santri tidak perlu dilarang untuk mengeksplor sesuatu yang mereka ingin tahu di internet. Namun, bekali mereka dengan dampak negatif dan positifnya internet. Dengan begitu, para santri akan tahu, apa risiko dari tindakan mereka.

Internet adalah fenomena baru bagi para santri untuk berdakwah karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dakwah santri di dunia maya relatif lebih murah namun dengan jangkauan yang lebih luas karena akan dibaca oleh penghuni internet dari berbagai belahan dunia.

Buku ini juga merangkum testimoni dari para kiai dan uslaz tentang pentingnya internet di pesantren sebagai media dakwah. Dipaparkan pula secara matematis pentingnya memutihkan internet. Lebih 1.000 santri telah dilatih dan dibekali pengetahuan internet, 800 weblog telah dibangun, dan mereka siap memutihkan internet.

Dari 14 motivator yang pernah mengajar dalam pelatihan Santri Indigo, mereka juga sepakat untuk memanfaatkan teknologi internet dan mengisinya dengan konten positif. Bahkan, Prof Jimly Asshidiqie mantan ketua MK, dengan tegas mengatakan bahwa kemajuan teknologi seperti sekarang mempermudah kita menggali ilmu dan kesempatan belajar makin terbuka. "Karena itulah, santri harus membuka diri terhadap teknologi." Jika tidak, santri akan tergilas zaman," kata Jimly.

slamet riyanto, ed subroto


SUMBER ARTIKEL : http://bataviase.co.id/





MyBaner

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes